Senin, 04 Mei 2009

Tentang Hukum Positiv & Hukum Islam

masih bercerita hikmah dari novel tempo hari...

Tentang Hukum Positiv & Hukum Islam

“Kalau menurut pengamatan saya, ada sebuah hal yang mendasari seseorang itu acuh tak acuh dengan hukum Islam itu sendiri. Nah, saya melihat sebuah fenomena yang mendasar pada negeri kita ini. Memang, hukum kita ini sangat mudah untuk ditarik ulur. Atau dalam hal ini, banyak sekali undang-undang karet yang mudah untuk dimainkan oleh penegak hukum. Entah itu Hakim, Jaksa, Polisi atau bahkan Pengacara sekalipun.” Prof. Susilo menarik nafas sebentar, setelah itu beliau melanjutkan analisisnya “yang akhirnya terjadi adalah, sebuah anggapan bahwa hukum kita mudah untuk dibeli.
Namun persoalan yang paling mendasar, bahwa
sesungguhnya hukum Islam itu sendiri masih asing ditelinga orang Islam. Sehingga untuk memunculkan Hukum Islam, apalagi hukum pidana Islam. Maka seseorang harus dapat
benar-benar paham tentang apa pola-pola keberadaan hukum tersebut. Contohnya, dalam
kasus Umar bin Khattab. Seorang pencuri pun, dapat diampuni hukuman potong tangannya. Nah, itu terjadi karena kelalaian pemerintahan Umar bin Khattab sendiri. Dalam hal ini, Umar bin Khattab merasa berdosa karena masih ada rakyatnya yang
kelaparan. Akibat kelaparan itulah seorang dapat mencuri. Ingat, Lid. Rasulullah pun
telah bersabda “sesungguhnya kemiskinan itu menyebabkan kekufuran.” Nah, jika kita
melakukan hukum pidana Islam. Minimal rakyat sudah bisa hidup layak dan
mendapatkan makanan dengan mudah. Sedangkan faktanya, bahwa rakyat negara ini
masih sangat lemah perekenomiannya. Jadi Lid, menurut saya tingkat kesejahteraan
itulah yang mendorong seorang untuk bisa memahami tentang arti the rule of law! Kalau
menurut kamu gimana?”

Sejenak aku berfikir, memikirkan apa yang telah diucapkan oleh guru besar yang
satu ini. Memang analisis beliau terlihat gamblang, jelas dan ringkas. Dan langsung to the point. Bahwa, kalau menurut penafsiranku tentang analisis beliau. Bahwa sesungguhnya semua aturan (hukum) dapat ditegakkan jikalau pelaku hukum bisa menikmati kesejahteraan dari aturan (hukum) tersebut. Dengan kata lain, tingkat perekonomian masyarakatlah yang menjadi pedoman. Jikalau, sebuah masyarakat sudah mempunyai tingkat perekonomian yang tinggi maka secara otomatis pendidikan masyarakat pun juga tinggi. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, maka secara otomatis hukum akan berjalan sesuai apa yang diharapkan. Tetapi, ada kejanggalan.

“Hem, begini Pak!” ucapku sambil terlihat memikirkan suatu hal. “Hukum, merupakan
aturan yang harus diterapkan oleh masyarakat. Jikalau hukum itu baik, maka masyarakatpun ikut baik. Insya Allah!” ucapku

Terlihat Prof. Susilo memandangiku dengan seksama. Memperhatikan setiap ucapanku.
Dan sesekali mengangguk jika beliau setuju dengan pendapatku.

Setelah itu aku mengatakan “sebuah aturan atau hukum, baik yang sudah maupun yang
akan diterapkan kepada masyarakat. Harus melawati titik uji tentang keampuhan hukum tersebut. Dengan kata lain, bahwa hukum tersebut mempunyai sifat yang haq (benar) dan
tetap serta tidak berubah-ubah. Untuk membuat sebuah kebenaran, maka seseorang pembuat hukum harus mengetahui kebenaran itu sendiri. Untuk mengetahui kebenaran,
maka pembuat hukum pun harus menjadi orang yang benar. Dan untuk menjadi orang
yang benar, maka pembuat hukum harus melakukan kebenaran atau dalam kata lain
kegiatan kebenaran. Sehingga, akan terjadi stimulus (pembangkit) untuk melakukan
kebenaran itu sendiri. Sehingga para penegak hukum pun dengan serta merta akan
melakukan pembenaran tentang adanya kebenaran. Jikalau nyata-nyata sebuah kebenaran
itu adalah benar.

Dinegara kita ini, tingkat masyarakat untuk memahami hukum memang sangat rendah. Sama rendahnya dengan apa yang mereka pahami tentang Undang-Undang. Hukum bagi masyarakat adalah sebuah kerangka penyekat dalam tingkahlaku mereka.Karena anggapan mereka, hukum merupakan aturan yang terdiri dari pasal-pasal dan ayat-ayat yang mengekang kelakuan mereka terhadap orang lain. Hukum dinegara kita ini, merupakan hukum yang berada pada penafsiran kegiatan kesalahan-kesalahan manusia. Bukan merupakan tingkat aturan (hukum) tentang melakukan sebuah kebanaran atau kebaikan. Jadi, masyarakat akan langsung takut manakalah hukum positif tersebut diperdengarkan oleh mereka. Sikap antipati terhadap hukum positif inilah, yang akhirnya masyarakat juga antipati terhadap hukum Islam. Masyarakat akan langsung mengatakan bahwa hukum itu adalah tindakan yang bersifat punishment (hukuman). Bukan tindakan yang bersifat mangatur hidup agar lebih baik. Jadi antipati seseorang terhadap hukum Islam, hanya karena mereka tidak mengetahui tetang kejalasan hukum-hukum Islam. Karena mereka trauma dengan hukum positif (hukum yang ada dinegara) yang bersifat penghukuman bagi orang yang bersalah. Maka, hukum Islam identik dengan mati, potong tangan dan lain sebagainya. Inilah yang membuat hukum-hukum Islam menjadi hal yang menakutkan bagi masyarakat. Padahal hukum Islam itu tidak hanya seperti itu. Islam banyak mengatur tentang tata cara dalam berbagai hal. Seperti hukum nikah, hukum pergaulan, hukum jual beli, hukum pidana, hukum perdata dan bahkan untuk memasuki kamar mandi pun ada hukumnya. Nah, disinilah orang-orang seharusnya memahami tentang hukum itu sendiri. Hukum Islam mengatur kehidupan, agar menjadi lebih terarah dan teratur dalam menjalankan kehidupan yang sementara ini. Di dunia. Ganjaran bagi orang-orang yang melakukan hukum (aturan) Islam. Menjadikan mereka akan lebih taat kepada Rabb (Tuhan)nya. Saat orang Islam taat kepada hokum hukum Islam. Maka yang akan terjadi adalah keseimbangan dalam hidup, antara dunia dan akhirat!” ucapku panjang lebar. “saya sanksi, saat Bapak mengatakan tentang seorang pelaku hukum akan mentaati hukum manakalah perekonomian masyarakat sudah tinggi. Terbukti dinegara maju, bahkan Amerika sekalipun. Tingkat pelanggaran hukum juga tidak kalah banyaknya dengan negara kita. Di Los Angeles, tingkat perkosaan mereka sangat tinggi. Setiap hari, ada sekitar 3000 wanita yang diperkosa melapor ke LAPD (Los Angeles Police Depertement). Dan yang tidak melaporpun, sama banyaknya.

Sungguh ironis, jikalau hukum hanya mengatur tentang tingkah laku kesalahan mereka.
Karena hukum yang sesungguhnya, adalah mengatur manusia untuk lebih mencintai
hukum itu sendiri.
Contohnya, seseorang yang membunuh. Dalam hukum Islam, dia harus qishah
(dibalas). Tetapi manakalah si pembunuh dimaafkan oleh keluarga yang dibunuh, maka
pembunuh ini terbebas dari hukuman tersebut. Meskipun dalam hal ini ada peraturan juga mengenai tata cara pengampunan dalam hukum Islam. Jadi, pandangan masyarakat
tentang hukuman mati dalam Islam. Banyak yang keliru dan salah. Tidak sedikit orang
yang mengatakan bahwa hukuman mati dalam Islam itu kejam. Tetapi, uniknya. Pada
saat ada seorang yang dibunuh, maka secara otomatis keluarga yang menjadi korban akan
menuntut hal yang serupa pada pelaku pembunuhan. Yaitu dibunuh. Jadi sebenarnya,
hukuman mati adalah sebuah fitrah dalam kehidupan. Jadi seseorang yang mengacuhkan
hukuman mati, atau bahkan menganggap hukuman mati adalah sebuah kekejaman atau
bahkan kekejian karena melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Maka seseorang itu,
tidaklah memahami esensi dalam sebuah kehidupan. Dalam Islam, pun telah diatur
tentang hukuman mati tersebut. Membunuh satu orang yang tidak bersalah, bagaikan
membunuh semua manusia yang ada didunia. Itulah esensi hukum Islam.
Sedangkan, apa yang tertera hukuman mati dalam hukum positif. Sangatlah
rancuh. Hukuman seseorang yang membunuh tanpa alasan yang benar. Tidaklah pantas
seseorang itu tetap hidup. Sedangkan, apa yang dilakukan Umar bin Khattab. Adalah
sebuah kebijaksanaan khalifah (pemimpin) dalam melaksanakan tugasnya. Umar bin
Khattab, sangat menjaga rakyatnya dalam masalah apapun. Termasuk kesejahteraan.
Tetapi, sedangkan pemimpin kita? Jadi sebuah pelaksanaan hukum, kalau menurut saya
adalah pada pelaksanaan dari hukum itu sendiri. Dalam pengertian, hukum bukanlah hal
yang mengekang atau membatasi kehendak kita. Tetapi sebenarnya, hukum adalah
sebuah perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari.” Ucapku penuh yakin.
Prof. Susilo tersenyum. Dia menganggukan kepalanya pelan. Tanda setuju.
“Hem, saya paham apa yang kamu maksud Khalid!” ucap Prof. Susilo. “tetapi apakah
hukum positif tidak dapat menjadi sebuah kehidupan hukum sehari-hari?” sanggahnya.
“Saya rasa, begini Pak. Hukum merupakan sebuah pokok kehidupan. Manakalah hukum
itu baik, maka masyarakatnya pun akan baik. Saya ingin menanyakan kepada Bapak.
Apakah dalam hukum positif, terdapat sebuah pengaturan tentang hukum bertingkah laku
yang baik.”
Prof. Susilo terlihat memikirkannya.
Saat itulah aku langsung menjawab sendiri pertanyaanku “tidak Pak! Hukum positif,
tidak mengajarkan kita bertingkah laku yang baik. Tetapi hukum positi hanya, mengatur
orang yang bertingkah laku tidak baik. Atau dalam kata lain. Melanggar hukum. Tetapi
dalam hukum-hukum Islam. Kita pun diatur dalam bertingkah laku yang baik. Dan kita
pun diberitahu akibat dari perilaku yang baik. Maupun yang tidak baik. Jadi hukum,
seharusnya melihat dua hal. Yaitu sebab dan akibat. Bukan hanya hukum bersifat akibat
semata.”

1 komentar:

  1. kemarin pas ke solo,saya diajak temen saya ke kos adik nya di belakang kampus UNS,di jalan belakang kampus kan ada lampu merah,dan rata2 pengguna jalan gak mentaati lampu merah itu,jadi kalo menurut mereka jalan gak rame,ya lanjut aja,bukan kah mahasiswa itu kalangan yang paling terpelajar?peduli bangsa?peduli hukum?jadi emang bener gak ada hubunganya kesadaran hukum dengan tingkat ekonomi seseorang,bahkan dengan tingkat intelektualitas seseorang..kalo bicara tentang hukum islam,kebanyakan teman saya berbicara tentang kesadaran,biarlah masyarakat sadar sendiri lalu kemudian dengan sendirinya akan memilih islam,atau kita sadarkan dengan cara2 yang "baik" sampai semua sadar..kalo sudah begitu saya biasanya kasih contoh tentang kesadaran masyarakat tentang lampu merah saja,kalo gak ada polisi mana ada yang taat,mana ada yang sadar,padahal untuk keselamatan,apalagi untuk menjalankan hukum yang memerlukan keimanan..

    BalasHapus