Selasa, 06 Mei 2008

November 17th, 2007

Dan Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati; bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (TQS. Al-Baqarah : 154)

Demikianlah kutipan ayat nan indah dan pas yang bisa dikenang bagi sosok seorang syabah HT Sumedang, Jawa Barat, Liling Karwati. Almarhumah dipanggil Sang Khaliq sebagai syahidah, tatkala ia melahirkan putra keduanya. Ia juga dikenal sebagai mujahidah dakwah, pejuang sejati penegak Syari’ah dan Khilafah. Dia wafat dalam kondisi pendarahan yang hebat dan merupakan kasus persalinan tergawat yang pernah dialami paramedis di RSU Kab. Sumedang. Namun, persalinan tersebut tidak mampu menyelamatkan bayinya. Sang bayi dipanggil oleh Allah SWT.

Usai melahirkan, pendarahan hebat pun terjadi. Satu-satunya jalan untuk menghentikan pendarahan adalah operasi angkat rahin, tanpa anastesi! Almarhumah koma, dan membutuhkan darah sebanyak 12 labu untuk perawatan intensif di ruang ICU. Sejak itulah ia tak lagi sempat menyaksikan dunia ini, bahkan sekedar mengucapkan salam perpisahan bagi sahabat-sahabat yang mencintainya karena Allah.

Berbagai upaya dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan disertai iringan do’a dari seluruh syabab dan syabah yang peduli pun dilakukan, SMS berantai pun disebarkan untuk mencari yang berdarah O, dengan harapan bisa membantunya. Namun, belum sempat semua darah itu mengalir ke dalam tubuhnya, ia telah terlebih dahulu dipanggil Yang Kuasa. Allah SWT lebih mencintainya, dan memanggil almarhumah pada hari Rabu, 24 Oktober 2007, pkl. 12.30, tepat dua hari setelah ia dioperasi.

Kini ia telah tiada dalam usia 27 tahun, meninggalkan seorang suami dan anak yang bernama Faruq Abdullah Taqiyuddin At-Tirmidzi (6 tahun). Namun, perjuangannya masih tetap hidup karena upaya keras dalam da’wah yang telah menghidupkan jiwa-jiwa yang tadinya mati dan perjuangannya tetap dikenang. Dia seorang pengemban da’wah yang istiqomah, tegar dan gigih, serta termasuk sukses dalam mengopinikan Syari’ah dan Khilafah di tengah-tengah masyarakatnya. Tiga desa telah ia rambah, Nangtung, Ciwaru dan Jamban. Daerah yang dahulu dikenal dengan kejumudan bahkan kemusyrikan, kini ia warnai dengan cahaya Islam. Banyak orang di daerah tersebut yang sempat bergabung dengan Hizbut Tahrir bersamanya, mengarungi sulitnya medan da’wah di sana.

Semangat mereka pun tak kalah tingginya dari orang yang telah memperkenalkan da’wah Islam terhadap mereka. Walaupun lama waktu yang harus dilalui untuk memperkenalkan da’wah sekitar dua tahun! Dapat dibayangkan bagaimana kegigihan almarhum saat mengetahui bahwa mad’u-nya adalah orang-orang desa yang sama sekali awam terhadap ajaran Islam, bahkan cenderung dekat dengan syirik; hanya tamatan SD; buta huruf arab, bahkan membaca huruf latin pun tidak lancar. Tidak hanya itu saja, medan yang harus dilalui umtuk setiap kali berkunjung ke tengah-tengah mereka adalah dengan melalui jalan yang mendaki, Namun, dengan tak kenal lelah almarhumah bersedia membimbing mereka hingga saat ini mereka tercatat sebagai daarisah di Hizbut Tahrir, dan siap melanjutkan da’wah sebagaimana yang telah dirintis sebelumnya.

Tantangan da’wah yang ia hadapi tidaklah sedikit. Terbukti semenjak almahumah masih tercatat sebagai siswa SMEA (th 1999), ia sudah harus berhadapan dngan sistem yang menzaliminya dan berupaya dengan keras untuk tetap mempertahankan keyakinannya, mengenakan busana yang wajib bagi muslimah, Jilbab. Demikian juga dengan masyarakat di sekitarnya, tidak sedikit yang mencibir, menolak, mengejek, bahkan pernah tidak dibukakan pintu sama sekali tatkala hendak menyeru orang-orang ke dalam Islam.

Namun, kondisi itu kini telah berbalik hampir 180 derajat. Orang-orang justru menangisi kepergiannya, bahkan ada yang menyesali karena pernah menolak ide yang pernah disampaikannya. Sosok pengemban da’wah telah melekat dalam dirinya. Namun, bukan dalam urusan da’wah saja, ia pun menjadi tauladan dalam kesehariannya.

Terbukti dari kesehariannya yang amat bersahaja, hampir tiap hari ia bangun sejak dini hari, dan usai shalat Tahajjud ia menyelesaikan urusan rumah tangganya. Sehinga tidak heran jika hampir semua reken-rekannya yang pernah mengunjungi rumahnya jarang menemui kondisi rumah dalam keadaan kotor ataupun berantakan, selalu dalam keadaan rapi. Karena disamping harus menyelesaikan tugasnya yang lain, ia telah mengagendakan aktivitas da’wahnya, bahkan tak jarang ia baru pulang ke rumah menjelang maghrib. Semua itu ia lakukan atas ijin dan ridlo dari suami yang mendukung ia sepenuhnya.

Rupanya, amal shalehnya sebagai Ummu wa Robbatul bait pun telah mengantarkannya membimbing putranya menjadi anak yang shaleh. Saat sang Ayah memberitahukan bahwa Umminya telah pergi dan tidak akan kembali lagi, sang anak justru menjawab : “Ga apa-apa Umi pergi, kan ada Abi. Nanti juga Aab (panggilannya) bisa ketemu Umi di syurga”…

Akhirnya, kami sahabat-sahabatnya tak ingin mengatakan salam perpisahan, namun semoga Allah SWT dapat mempertemukan kami di syurga kelak, amiin. Ukhti, semoga ukhti termasuk seperti dalam firman Allah SWT : “…Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menemuinya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah….” (TQS. An-Nisaa : 100).

Atas nama sahabatmu,

U. Hakimah dan Afifah

malu ya… belum banyak yang saya lakukan untuk ISLAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar