Kamis, 30 April 2009

Ketika Nikah Siri Dipidanakan..

Rancangan Undang-Undang akan mengatur Pernikahan Siri. Undang-undang ini akan menjatuhkan pidana terhadap jenis pernikahan siri. Apa dan bgm seberanarnya pernikahan ini? Bagaimana pandangan dalam Islam memandang pernihkan siri? Apa dibalik RUU yg akan mengatur pernikahan siri ini? Apa sih yg terjadi sebenarnya sampai2 pernihakan siri kemudian dipidanakan? Resume di bawah ini akan mencoba menjelaskannya Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini sudah tertuang dalam sebuah Rancangan Undang-undang tentang perkawaninan. Sebagaimana penjelasan Bapak Nasarudin Umar selaku Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat Pernikahan siri, Poligami dan kawin kontrak. kHusus Pernikahan siri ini, saat ini RUU tersebut masih berada di Sekertariat Negara. Dalam RUU ini nikah siri dianggap sebagai perbuatan illegal sehigga perlakunya akan dipidanakan dengan saksi penjara minima 3 bulan dan denda 5 juta. Sanksi tersebut brlaku bagi pelaku yang mengawinkan, dan yang dikawinkan scr nikah siri, poligami atau nikah kontrak. Bagi penghulu yang menikahkan seseorg yang bermasalah misalnya yang masih terikat dengan pernikahan sebelumya, jadi ini untuk yang berpoligami, akan dikenakan sanksi pidana 1 tahun penjara. Sedangkan bagi pegawai KUA yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap diancam denda 6 juta dan 1 thn penjara. Sebagian orang berpendapat bahwa orang yang nikah siri ini, maka suami isteri tidak memiliki hubungan waris / pewarisan. Artinya ketika si suami menginggal dunia sang isteri yang dinikah siri beserta keturunannya tidak berhak untuk mewarisi harta suaminya. Ini juga berlaku sebaliknya, ketika isteri meninggal dunia. Kondisi ini dianggap akan merugikan kaum perempuan dan anak-anak, akhirnya diperjuangkanlah untuk dipidanakan. Ini adalah pendapat yang mengajukan RUU tadi. Tapi sebelum bahas lebih lanjut, mungkin kita perlu mengetahui terlebih dulu apa sih yang disebut nikah siri itu? Mungkin yang selama ini kita tahu, dan yang juga beredar di masyarakat, bahwa yang dinamakan nikah siri itu.. pokoknya nikah secara sembunyi-sembunyi. Ustadzah Latifah Musa dalam Voice of Islamnya menerangkan, bahwa dalam pandangan masyarakat umum Pernikahan siri itu… • yang pertama, pernikahan tanpa wali. Jadi pernikahan tanpa wali atau siri ini dilakukan karena wali pihak perempuan tidak setuju, atau menganggap syahnya pernikahan tanpa wali, mungkin hanya mementingkan nafsu syahwat tanpa mempedulikan ketentuan syari’at. • Kedua, bahwa pernikahan siri ini adalah sebuah pernikahan yang syah secara agama, tapi tidak dicatatkan di lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatakan pernikahannya di KUA, ada karena fakor biaya. Dia tidak mampu membiayai administrasi pencatatan karena mahal. Ada juga karena takut ketahuan melanggar aturan, karena pegawai negeri tidak boleh nikah lebih dari satu dan masih ada faktor2 lainnya. • Ketiga, ada juga fakta pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu/disembunyikan. Mungkin misalnya takut menerima stigma negative dari masyarakat karena masyarakat terlanjur menganggap tabu pernikahan siri atau karena pertimbangan2 lain yang akhirnya memaksa orang tersebut merahasiakannya. Ketiga fakta itulah yang secara umum beredar di masyarakat. Kemudian bagaimana pandangan Islam sendiri terhadap fakta pernikahan siri tersebut? • faka pertama, jika pernikahan siri yang dilakukan tanpa wali, Islam mengharamkan. Jadi haram menikahkan seorang wanita tanpa wali. Ini sebagaimana didasarkan pada sebuah Hadist yang diriwayatkan Sahabat Abu Musa r.a, Rosulullah SAW besabada yang artinya “ tidak syah suatu pernikahan tanpa seorang wali”, kemudian Rosulullah SAW bersabda yang maknanya “wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya Bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil” Rosul menyebutnya sampai 3 kali. Ini hadist dari lima mazhab kecuali An-Nasa’i. Ada juga Hadist lain dimana Rosulullah SAW bersabda yang maknanya “seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya, juga seoang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri sebab sesungguhnya wanita pezina adalah seorang wanita yang menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah). Jadi berdasarkan hadist-hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu pelanggaran terhadap Allah SWT ketika menikahkan tanpa wali, dan ini berhak mendapatkan sanksi. Hanya syari’at belum menetapkan sanksi bagi orang-orang yang melakukan telribat pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu pernikahan tanpa wali dimasukan ke dalam Bab Ta’zir. Jadi sanksi yang berupa bentuk dan kadar saknsinya diserahkan sepenuhnya kepada Qodi atau Hakim dalam system Islam. • Fakta kedua, fakta pernikahan yang sah menurut Islam hanya saja tidak dicatatkan. Ini memang harus ada hukum yang dikaji secara berbeda, yaitu hukum pernikahannya dan hukum tidak mencatatkan. Nah kalo hukum pernikahnnya itu sendiri sah, sehingga jika dari aspek pernikahannya itu sah berdasarkan ketentuan syari’at, pelakunya tentu tidak boleh dianggap melakukan suatu kemaksiatan. Sehingga tidak berhak dijatuhi sanksi hukum. Dalam Islam, perbuatan baru dianggap suatu kemaksiyatan, berhak dijatuhi sanksi dunia dan akhirat ketika terkategori menjalankan yang haram dan meninggalkan yang wajib. Dan ini tidak terjadi jika pernikahannya sah. Nah, bagaimana fakta tidak mencatatkan? Jika Administrasi Negara menetapkan ini sebagai salah satu bentuk aturan, dan seseorang melanggarnya, maka ini adalah pelanggaran terhadap pelanggaran administrasi Negara. Misalnya seperti melanggar peraturan lalu lintas, melanggar izin mendirikan bangunan, peraturan-peraturan administrative lainnya. Jadi tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal. Persoalan pernikahan siri ini dalam RUU tersebut akan dipidanakan. Jadi dianggap sebagai tindakan kriminal, padahal ini persoalan perdata bukan persoalan pidana, karena urusannya adalah urusan catat mencatat. Jadi ini yang menjadi masalah. Pada saat seseorang menikah tidak mencatatkannya di catatan sipil, itu tidak bisa dimasukan kedalam tindakan pidana. • Kemudian fakta yang ketiga, tidak mempublikasikan atau disembuyi2kan. Hukum Islam untuk mempublikasikan/mengumumkan pernikahan dalam bentuk walimatul ‘ursy itu sendiri adalah Sunnah, dan kedudukannya sunnah muakkad, jadi sangat-sangat dianjurkan. Tetapi misalnya karena ada suatu kondisi tertentu sehingga tidak diumumkan, itu tidak sampai melakukan suatu keharaman, tapi bentuk pelanggaran terhadap Sunnah, tidak sampai keharaman. Tetapi tetap saja jika dengan tidak mengsyi’arkan malah akan terjadi kemudhorotan misalnya fitnah, maka sangat sangat dianjurkan utk seorang muslim mengsyi’arkan pernikahannya. Dan Negara juga sangat menganjurkan ini. Jika masalahnya seperti ini. Terus kenapa nikah siri ini akhirnya sampai dipidanakan? Persoalannya adalah karena Negara kita sudah meratifikasi Undang-undang Internasional, jadi di bawah hukum yang disepaktati PBB. Karena sesuai dengan ketentuan perlindungan terhadap hak-hak perempuan, kemudian adanya konsep kesejahteraan gender, dll. Ini menyebabkan Indonesia harus meratifikasi hukum-hukum yang digulirkan sesuai dengan ketetapan-ketetapan ini. Nah akhirnya muncul Undang-undang yang berbasiskan kesejahteraan gender. Seperti UU Perlingdungan anak, UU kekerasan dalam Rumah Tangga tetapi dalam terminologi satu definisi, satu definisi yang sudah disepakati dalam UU Internasional. Jadi mengacunya itu bukan pada Syari’ah Islam tapi pada kesepakatan-kesepakatan Internasional dan sesuai dengan Sistem Pergaulan Internasional. Misalnya dalm UU Perlindungan anak, batasan anak itu berada di atas 18 tahun. Jadi kalo usia 17 tahun dianggap masih anak-anak, dan dia tidak boleh menikah. Sehingga ketika dia menikah pada usia 16 atau 17 tahun maka dia dianggap melanggar UU ini. Karena terpacu dari sinilah, akhirnya ada keinginan untuk merevisi Undang-undang yang masih ada bernuansa agama, masih bernuansa syari’at Islam seperi UU perkawinan. Kemudian jg uu peradilan agama, yang masih memasukan syari’at islam untuk menyelesaikan masalah di peradilan agama. Nah inilah yang kemdudian akhirnya ingin di rubah. Inilah yang menyebabkan akhirnya nikah siri dipermasalahkan. Dalam konteks sebenarnya boleh, sah, kemudian juga poligami yang sebenarnya dalam Syari’at Islam hukumnya boleh, kemudian juga pernikahan yang dibawah 18 tahun di dalam islam juga sebenarnya boleh. akhirnya diupayakan untuk dilarang sesuai dengan UU Internasional. Dan tidak berdasarkan pada AlQuran dan Assunnah lagi. Tentunya ini menambah daftar fakta bahwa syari’at Islam itu mulai dijajah sedikit demi sedikit kemudian dihapus dari kehidupan kita. Jadi memang ada arus untuk menghancurkan nilai-nilai Islam yang masih tersisa dalam keluarga-keluarga muslim di Indonesia. Sehingga yang dibidik sekarang adalah UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama. Hmm…memang jika tidak ditimbang dengan syariah yang ada malah bikin resah dan gelisah --Resume Voice of Islam edisi Mei Rubrik Sakinah--

Rabu, 29 April 2009

Masih lanjutan dari postingan Blog sebelumnya tentang Asyiknya Membaca Novel Islami.

Tentang kesalehan pribadi dan keshalehan umum, persatuan kaum muslimin
Orang-orang muslim yang kaya diharapkan untuk dapat bersatu merapatkan shaff dalam barisan perjuangan. Sehingga tidak terjadi suatu kehendak yang hanya bersifat keshalehan pribadi, tetapi tidak mendapatkan sebuah kemaslahatan pada masyarakat.
Banyak sekali orang-orang yang hanya menginginkan keshalehan individu. Sehingga
menafikkan keshalehan umum. Menganggap bahwa, suatu hal yang menurut kehendaknya menyenangkan. Maka itulah yang harus dia lakukan, untuk menyenangkan hatinya. Yaitu sebuah kesenangan yang hanya menentramkan hatinya, tetapi mengacuhkan kesenangan saudara-saudaranya. Banyak orang-orang muslim yang masih sangat membutuhkan uluran tangan dari saudara-saudara muslim yang lainnya. Kalau lah kita hanya menyalahkan para misionaris yang sedang gencar-gencarnya memurtadkan orang-orang Islam. Itu tidaklah adil. Karena letak dari kesalahannya, adalah karena kita tidak pernah perduli dengan saudara-saudara kita sesama muslim. Sehingga Itsar, satu kata dalam barisan muslimin telah terkoyak dan rusak. Itsar hanya menjadi selogan kosong, dan hanya menjadi kenangan sejarah yang menganggumkan. Bukan menjadikan semangat kita, untuk menjadikan contoh bagi diri dalam mencintai saudara-saudara
muslim.

Aku jadi teringat sebuah cerita para pasukan muslim yang akan bertempur malawan tentara kafir. Saat-saat para tentara kafir mengira bahwa tentara Islam tidak pernah melatih kekompakan. Tetapi, tidak diduga-duga. Saat tentara kafir melihat tentara Islam yang sedang menyebrang sungai. Hingga salah satu tentara Islam kehilangan kantong air minumnya kedalam sungai. Tanpa dikomandopun, seluruh tentara Islam langsung mencari kantong air milik saudara seimannya. Melihat kejadian itu, seketika tentara kafir langsung menyerah. “Bagaimana kita akan menyerang sebuah pasukan. Yang pasukan itu sangat perduli dengan temannya. Kalau kita bunuh salah satu tentara Islam. pastilah mereka semua akan membinasakan kita” ucap panglima perang tentara kafir. Sungguh ini menjadi pelajaran bagi umat Islam. Pelajaran untuk saling perdulidengan saudara seimannya. Itsar.

Tentang Kesempurnaannya Allah SWT
Air. Sungguh Benar-benar segar rasanya. Sungguh Allah benar-benar maha sempurna.
Menciptakan sesuatu tiada yang sia-sia. Bahkan air pun, sungguh sangat berharga.
Sampai-sampai Allah, selalu mengiming-imingkan surganya dengan air sungai yang
mengalir segar. Sungguh bodoh bagi orang-orang yang mengatakan “perumpamaan Allah
itu hanya untuk orang-orang Arab saja! Allah, hanya menakut-nakuti orang Arab dengan
Api. Dan memberikan gambaran surganya dengan air! Ya, memang orang Arab pasti
takut api karena mereka tinggal didaerah panas. Dan mereka akan senang dengan air
karena mereka benar-benar membutuhkan” Pernyataan yang bodoh. Sesungguhnya semua manusia pada dasarnya menyukai air dan tidak menyukai api atau yang berhawa panas. Lalu apakah orang-orang Eskimo suka memakan api? Karena mereka tinggal di kutub! Tentu tidak, jikalau mereka terbakar mereka pun akan kepanasan. Dan sesungguhnya, api yang sangat kecil pun bias menyakiti manusia. Tidak seperti es atau air.

Kalimat penyemangat dakwah
Kini aku sudah bersiap untuk berangkat. Menuju ladang pahala yang siap untuk dicangkul. Dan semoga aku dapat menuai hasilnya kelak. Desa kumuh tempat mangkal kajian para preman tidak jauh dari tempatku. Jadi hanya dengan berjalan kaki, maka akan lebih cepat. Kalau naik angkot, malah harus muter-muter dulu. Matahari begitu terik, meskipun waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi. Langkahku tegap penuh semangat, menuju pahala yang menanti untuk aku petik. Dan aku nikmati kelak dimasa yang akan datang.

Mata ini sudah memandang sederetan rumah-rumah kumuh yang membentang. Beda sekali dengan perumahan-perumahan yang aku lewati. Sungguh ironis, kehidupan hedonis yang menyekat mereka. Menyekat antara si miskin dan si kaya. Apalagi kekuatan kapitalis yang begitu gencarnya menghancurkan orang-orang miskin. Tapi tunggu, umat Islam akan bangkit. Memumpuk kejayaan masa silam yang gemilang. Dan umat-umat kafir menjadi umat-umat yang meminta perlindungan umat Islam. Allahu Akbar!!!

Aku kembali ke kamar, dan mengambil buku suci pedoman hidup manusia. Al Qur’an. Hanya inilah cara satu-satunya yang dapat memperkuat diriku lagi.

[2.214] Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacammacam
cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya:
"Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu
amat dekat.
[16.110] Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah
sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu
sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[2.218] Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan
berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
[3.142] Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi
Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.
[5.35] Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan
[5.54] Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang
mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah,
dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya) lagi Maha Mengetahui.
[9.16] Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah
belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan
tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[9.41] Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan
berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.
[25.52] Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap
mereka dengan Al Qur'an dengan jihad yang besar.
Suatu hal yang mendasar, yang diajarkan Rasulullah kepada umatnya adalah rasa kasih dan sayang serta memberikan peringatan
dengan lemah lembut. Juga memberikan amanah kepada seseorang, dengan sesuai
tingkatan keimanannya. Tidaklah seorang yang bijak, jika menyeruhkan kebenaran tetapi
dia sendiri tidak melakukan. Tidaklah kebenaran itu akan terwujud, jika kebenaran itu
hanya berada pada ucapan-ucapan semata. Tidaklah ucapan-ucapan kebenaran akan
terwujud, jika perilaku si pengucap menyimpang dari perkataan kebenarannya. Orang
bijaklah, yang menyerukan tentang kebenaran, dan dia mengetahui kebenarannya serta
mengetahui kadar iman dari seorang yang akan diserunya.

Lagunya Izzis
“Dimana dicari pemuda kahfi
Terasing demi kebenaran hakiki
Dimana jiwa pasukan badar berani
Menoreh nama mulia perkasa abadi
Umat melolong di gelap kelam
Tiada pelita penyinar terang
Penunjuk jalan kini membungkam
Lalu kapankah fajar kan datang
Mengapa kau patahkan pedangmu
Hingga musuh mampu membobol bentengmu
Menjarah menindas dan menyiksa
Dan kita hanya diam sekedar terpana”

Selasa, 28 April 2009

Asyikny Membaca Novel Islami…


Membaca novel memang mengasyikan… disamping membuatku terhanyut oleh suasana Novel yang disuguhkan oleh penulis, aku bisa mengambil banyak pelajaran darinya. Tentunya jika yang kita baca bukan hanya sekedar Novel biasa, maksudku Novel bernuansa Islami ataupun novel penggunggah semangat. Novel yang memiliki nilai-nilai dakwah dan mengingatkan kita akan kegungan dan Maha Sempurnanya Allah, dan juga memperingatkan kita terhadap azab dan siksanya Allah bagi orang-orang yang melanggar aturan-Nya.
Setidaknya itulah yang kurasakan ketika membaca beberapa novel Islami ataupun novel umum namun mengandung unsur-unsur moral dan pendidikan. Kalimat dalam novel-novel tersebut juga dapat dijadikan salah satu referensi untuk berdakwah. Karena biasanya(ciri khas dari) novel memiliki kata-kata yang indah yang jauh dari kesan menggurui tapi mengena di hati.

Seperti novel e-book yang berjudul Bidadari untuk Ikhwan karya Fajar Agustanto yang telah kubaca beberapa minggu lalu, Alhamdulillah banyak hal yang saya dapatkan. Diantaranya adalah seperti yang kutulis di bawah ini dan beberapa postingan lainnya ke depan.

---Tentang Kenikmatan air wudlu---
Hem, nikmat benar air wudhu yang membasahi kulit-kulitku ini. Terasa semua ringan dalam membasuh semua kotoran-kotoran dunia

---Takutlah hanya kepada Allah---
Disebuah pinggiran kali, aku berpapasan dengan tiga para preman. Mereka melihatku dengan tatapan yang tajam, seakan aku adalah mangsa yang siap untuk diterkam, dan tentunya sangat lezat. Jantungku berdetak kencang, aku merasakan ketakutan saat berhadapan dengan para preman. Tak pelak aku pun beristikfar dalam hati dan meminta perlindungan kepada sang Maha pelindung. “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman (Ali Imran 175).” Aku teringat dengan apa yang difirmankan Allah, sungguh dahsyat apa yang kurasakan setelah mengingat Ali Imran ayat 175. Tubuhku seakan siap menjadi tentara Allah yang akan menghadang para segerombolan kaum Bani Israil.
---
“Baru kali ini, saya berhadapan dengan anak muda yang berani!” ucap Si bos preman, selanjutnya dia mengatakan “sebenarnya beberapa kali, ada anak muda yangmengajarkan ngaji pada anak-anak diperkampungan kumuh ini. Tetapi mereka adalah anak muda yang munafik, mereka mengatakan kebesaran Tuhannya tetapi mereka menakuti manusia. Mereka takut pada kami, para preman! Saat aku melihat kamu, aku ingin menguji keberanianmu, aku ingin menguji keimananmu, ingin menguji kekuatan kepercayaanmu kepada Tuhanmu. Dan menguji, apakah kamu dari golongan anak muda yang munafik itu? Sungguh luar biasa keberanianmu, engkau tak takut akan kematian. Bahkan engkau mencari kematian, kematian diatas nama Tuhanmu! Dan ternyata kamu bukan dari golongan anak-anak muda yang munafik itu.” Nih preman gak tau kali ya, kalau aku sebenarnya juga takut! Tapi Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah swt, rasa takutku pun menjadi sebuah keberanian. Ucapku dalam hati.

---Fenomena saat ini,---
Jika ada seorang pemuda/i yang berpacaran mereka melihatnya biasa.
Jika ada pemuda/i yang bertunangan mereka menganggap luar biasa. Hingga layaknya sebuah pertunangan adalah pesta pernikahan. Dan membiarkan anaknya, yang hanya sekedar bertunangan dilepas bagai seorang yang sudah menikah. Mereka menganggap pertunangan hanya sekedar pelegalan hubungan mereka.
Mereka lupa dengan hukum-hukum Islam. Sangat lupa atau bahkan tidak mengerti sama sekali.
Pemuda/i yang ingin menikah muda, seringkali dikatakan nafsunya besar, atau hamil diluar nikah. Kalau alasan yang kedua, mungkin ini sering sekali dilontarkan.
Mereka tidak menganggap orang yang ingin menikah muda, adalah seorang yang ingin menjaga kehormatannya. Baik kehormatan bagi pemuda itu maupun kehormatan bagi keluarga. Seorang yang menikah muda, tidak diidetikkan seorang yang menjaga agamanya. Tapi seringnya dibilang yang nggak karuan.

Di Masjid dekat rumah kami, dimana saya dan suami sering ikut berjama’ah, mempunyai imam pengganti yang tidak jelas pelafalan bacaan Al-Qurannya. Dan ketika berbicarapun tidak jelas, karena mulutnya tidak dibuka dengan lebar, sehingga ketika seseorang harus berbicara dengannya, tampak seperti orang yang memiliki masalah pendengaran. Imam tsb juga terlihat angkuh dan serasa paling hebat bacaanya dan paling pintar, padahal yg saya rasakan, sering sekali bacaan yg dibaca tdk terdengar dgn jelas, dan kadang2 pas saya tangkap, ternyata makhorijul hurufnya dan panjang pendeknya juga kurang pas. Selain itu, pernah juga saat saya berusaha menangkap kata perkata surat2 pendek yang dilafalkan, ternyata ada surat yang kebalik dibacanya, ketika ada yang mengoreksi, tetap saja tidak dihiraukannya.

Astaghfirullah.. sejak saat itu, saya jadi tidak tenang ketika Sholat harus diimami sama beliau ini. Yang menyedihkan lagi Imam pengganti ini tak pernah memberikan kesempatan pada orang lain yang bacaannya lebih fasih dari pada beliau untuk menjadi Imam, padahal banyak bapak-bapak yang sering mengikuti Sholat di Masjid ini yang bacaannya lebih fasih dan lebih jelas dan malah lebih indah suara dan nada bacaannya. Saya juga tahu bahwa ada bapak2 yang ternyata lebih fasih ketika beliau ini kebetulan sedang tidak ada atau terlambat datang ke Masjid. Semoga beliau senantiasa diberikan petunjuk dan hidayah-Nya. Padahal sejak kecil saya pernah diberitahukan bahwa untuk menjadi Imam itu ada syaratnya salah satunya bacaannya harus fasih tapi saya tak tau dalilnya apa hadist riwayat siapa. Akhirnya ketika suatu malam, saya coba searching di Mbah Google mengenai dalil-dalil syarat untuk menjadi Imam Sholat… Alhamdulillah saya menemukannya. Ada beberapa situs yang saya temukan, tapi saya lebih puas dengan ditulis oleh Abu Farhan dalam situsnya(tapi saya lupa mencatatkan situsnya), karena yang beliau tulis menurut saya lumayan lengkap…

Berikut kutipannya…

Perkenankan saya menambahkan penjelasan saudara-saudara kita sebagai
berikut:
(1) Syarat menjadi imam shalat (sesuai urutan):
a. Paling bagus bacaan Al Qur'annya, tartil bacaannya, dan paling
banyak hapalannya;
b. Paling paham sunnah;
c. Paling pertama hijrahnya;
d. Paling tua umurnya.

Dari Abu Mas'ud Al-Anshary ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
"Hendaklah yang menjadi imam yang pandai bacaan Al-Qurannya. Apabila
mere¬ka sama dalam kepandaiannya, hendaklah yang paling mengerti
sunnah. Jika mereka sama dalam pengetahuan sunnahnya, hendaknya yang
paling pertama hijrahnya. Jika hijrahnya bersama-sama, hendaknya yang
lebih dahulu masuk Islamnya". Riwayat lain berbunyi: "kemudian yang
paling tua umurnya". [HR Muslim: Kitabul Masajid wal Mawadli]

Lembaga Fatwa'Ulama Saudi Arabia berfatwa:
"Aqrouhum, yang paling bagus lagi tartil bacaannya dan yang paling
banyak hapalannya." [Fatawa Lajnah Ad Daimah Lilbuhus Al-Ilmiyah Wal
Ifta 7/348]

(2) Tidak dianjurkan menjadi imam bila jama'ah tidak menyukainya
Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah disebutkan:
"Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal
dari kepala mereka, (yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang
membencinya." [HR lbnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun
Syikha, "Sanad ini shahih, dan rijalnya tsiqat." Hadits ini juga
diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr, dan Abu Umamah.
Berkata Shiddiq Hasan Khan, "Dalam bab ini, banyak hadits dari
kelompok sahabat saling menguatkan satu sama lain." (Lihat Ta'liqatur
Radhiyah, hal. 1/336)]

Berkata Shiddiq Hasan Khan,
"Dhahir hadits yang menerangkan hal ini bahwa tidak ada perbedaan
antara orang-orang yang membenci daripada orang-orang yang mulia (ahli
ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka dengan adanya unsur kebencian,
dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk
meninggalkannya. Kebanyakan kebencian yang timbul terkhusus pada zaman
sekarang ini berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil
yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.)
karena Allah, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang
maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya,
maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan
sesuatu yang sangat langka, pen.).

Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba
Allah. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut,
maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok
orang membencinya -tanpa sebab atau karena sebab agama- agar tidak
menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar daripada
pahala melakukannya. [Ta'liqatur Radhiyah, hal. 1/337-338]

Berkata Ahmad dan Ishaq,
"Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia
shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum." [Lihat
Dha'if Sunan Tirmizi, hal. 39]

(3) Dilarang berselisih
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan
berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang
setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih
juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di
pasar." [HR Muslim, no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572]

Maraji':
- Meluruskan Kekeliruan Imam, oleh Al Ustadz `Aunur Rofiq bin Ghufron,
majalah Al Furqon, Edisi 11 Th. 1423H, hlm. 10-15 dan 19 pada
http://www.vbaitullah.or.id;
- Adab Imam dan Makmum dalam Shalat Berjama'ah, Oleh: Armen Halim Naro
pada http://www.vbaitullah.or.id.

Semoga Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa memberi kemudahan kepada
kita agar mampu meneladani Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Abu Farhan

Alhamdulillah, penjelasan yg sgt rinci. Tapi bagaimana ya solusinya supaya bapak ini mau diganti dengan imam yang lain, karena imam yang sering digantikan Bapak ini malah jarang datang ke Masjid akhir-akhir ini. Kalaupun datang, hanya pada saat Sholat Subuh, itupun tidak setiap hari datang. Ingin sekali kami menjelaskan, tapi kami merasa tidak enak, atau malah mudhorotnya akan lebih besar. Selain itu kami jg baru terhitung penduduk baru di daerah ini. Dan sewaktu kami mencoba mengajukan salah satu program utk kegiatan masjid, yaitu membaca Al-Quran dgn membaca artinya nggak hanya sekedar membaca aja(program yg sudah berjalan)spy faham dgn yg dibaca cukup satu kali dalam seminggu aja atau diadakan kajian ilmu, ditolak oleh imam pengganti tersebut, padahal Imam utama setuju… Trimakasih kalau ada yang mau ngasih masukan…

BAHAGIANYA MENJADI SEORANG IBU



Mungkin kita sering mendengar “syurga berada di bawah telapak kaki ibu”. Ini menunjukkan bahwa posisi seorang ibu sungguh amat mulia, memiliki kedudukan yang istimewa. Namun, sangat disayangkan, seringkali kita melihat posisi yang amat mulia itu tidak dioptimalkan. Bahkan tidak sedikit seorang Ibu meremehkan peran ini.
Memang di era seperti sekarang ini, ketika kapitalisme, liberalisme, matrealisme menyusup ke dalam celah-celah kehidupan keluarga muslim. Mulai ada ide-ide atau konsep yang mengganggu kenyamanan keluarga muslim yang hendak mewujudkan profil keluarga muslim. Misalnya, pemikiran moderat yang menilai peran keibuan menghalangi perempuan untuk eksis di dunia publik, mereka mempertentangkan peran ibu dengan peran publik. Selain itu kapitalisme juga mendorong perempuan untuk full di luar untuk bekerja.
Untuk para ibu atau calon ibu, mungkin kita perlu merenung sejenak. Apa sebenarnya yang kita cari di dunia ini? Apakah hidup kita ini akan selamanya? Jika jawabannya ternyata hidup kita sementara di dunia ini, lantas apakah kita masih punya harapan untuk mengakhiri hidup kita dengan baik? Akhir yang baik tentu harus menjadi orang yang baik. Bagaimana menjadi orang yang baik? Apa amal utama bagi seorang muslimah? Sehingga kita senantiasa memprioritaskan amal yang memang layak untuk diprioritaskan. Disinilah perlunya kita mengkaji Islam. Ternyata Islam sangat memperhatikan peran ibu ini.
Untuk mengetahui apakah kita sudah menjalankan peran ibu ini dengan baik apa belum, tentu kita harus mempunyai tolak ukur atau kriteria menjadi seorang ibu yang baik. Kriteria ibu yang baik adalah dengan cara menjalankan kewajiban sebagai seorang ibu. Dan kewajiban ini merupakan peran pokok muslimah yang utama. Jika ditinggalkan akan berdosa, sebaliknya jika dijalankan dengan baik maka akan mendapat pahala yang besar, dari pada berkarir. Diantara kewajiban ibu itu antara lain,
• Menjaga atau merawat kehamilan
• Melahirkan
• Menyusui
• Mengasuh anak kecil
• Mendidik pada usia dini
Ketika mengabaikan peran-peran tersebut, maka criteria menjadi ibu yang baik belum tercapai. Apalagi meninggalkan kewajiban untuk mengejar yang mubah yang jelas tidak akan mendapat apa-apa dari karirnya, malah bias jadi yang didapat adalah dosa karena telah melalaikan kewajiban.
Supaya kita dapat menjadi seorang ibu yang baik, tentu kita harus memiliki motivasi diri yang dapat mendorong kita melakukan kewajiban terseut dengan maksimal. Yaitu dengan belajar, bagaimana Islam memberikan arahan kepada seorang Ibu. Dalam nash-nash Al-Quran dan dalam Al Hadist bayak pujian dan penghormatan Islam bagi peran Ibu. Misalnya, jika di kantor kita tau bahwa atasan akan memberikan gaji 2 kali lipat jika kita dapat menyelesaikan pekerjaan secepatnya. Tentu kita akan bersungguh2, karena kita tahu kita akan mendapatkan gaji/materi dua kali lipat dalam satu waktu. Ini adalah motivasi materi. Begitu juga denga peran ibu ini, jika kita tahu apa yang akan diberikan Sang Pencipta terhadap peran ibu ini, tentu kita akan sekuat tenaga meraihnya dan menjalankan amanah ini dengan sebaik mungkin.
Misalnya untuk yang hamil, dalam sebuah hadist disebutkan, “apabila seorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah malaikat untuknya, Allah SWT mencatatkan baginya 1000 kebaikan dan menghapuskan darinya 1000 kejahatan.” (Al-Hadist)
Untuk muslimah yang akan melahirkan, dalam sebuah hadist pula disebutkan “apabila seorang perempuan mulai sakit hendak melahirkan, makak Allah SWT mencatatkan baginya pahala bagaikan orang yang berjihad di jalan Allah (fisabilillah)”
Untuk muslimah yang sedang/sudah melahirkan, “apabila seseorang perempuan melahirkan anak, maka keluarlah ia dari dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya”
Kemudian ketika si Ibu mulai menyusui, “setiap 1 tegukan dari pada susunya maka ia diberikan 1 kebaikan” waah subhanallah berapa tegukan yang diminum seorang bayi dalam 2 tahun penuh??
Ketika seorang Ibu mulai mengasuh, “ketika seorang ibu semalaman tidak tidur karena memelihara anaknya yang lagi sakit maka Allah SWT memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah”
Maha Suci Allah, kalau kita melihat seperti ini, pasti setiap muslimah akan besungguh-sungguh. Karena melihat begitu besar janji Allah SWT bagi orang-orang yang menjalankan peran ibu dengan sebaik-baiknya. Tidak setara dengan gaji yang didapat setiap bulan, pasti dia tidak rela menukar dengan dunia dan segala isinya ini karena Syurga itu lebih baik dari pada dunia dan segala isinya.

--Resume Voice of Islam edisi 24 April 2009, rubrik sakinah--

Kamis, 23 April 2009

Aktivitas baruku di Manna


Kemarin malam (senin malam), (waktu maghrib mpe isya) seperti biasa kami berada di Masjid Agung dekat rumah kami untuk mengikuti Sholat berjama’ah Maghrib dan Isya. Di sela-sela waktu maghrib dan isya biasanya di Masjid itu diadakan akivitas mengaji bersama… Kami rasa amalan itu baik juga, dan kami pun akhirnya sepakat mengikutinya, walaupun sebenarnya saya dan suami pun di rumah mempunyai program tilawah bersama sambil membaca terjemahan serta sambil mengkaji Tafsirnya, yakni Tafsir Ibnu Katsir. Tapi ditambah dengan niat untuk mempererat silaturrahmi dengan tetangga dan untuk menambah kenalan tetangga2, kami pun mengalihkan program tilawah kami ke waktu yg lain (sedihnya akibat dialihkan jadwal tersebut, program kami ini akhirnya menjadi macet).

Kira-kira kurang dari sebulan mungkin kami mengikuti aktivitas tadarus berjama’ah itu, hingga akhirnya dengan seizin Allah, saya diamanahi oleh Allah untuk mengajar Al-Quran dan ilmu-ilmu Islam anak-anak SD di daerah itu yang sering ke Masjid. Sebetulnya pertemuan dengan anak-anak ini pun kebetulan alias tidak sengaja dan tidak direncanakan (pada hakikatnya sudah diatur oleh Allah, karena tidak ada sesuatu kejadian pun di dunia ini yang kebetulan semata).
Bercerita sedikit mengenai pertemuan dengan anak-anak ini. Pada saat para org tua hendak melakukan tadarus bersama, kulihat anak-anak itu juga mengambil Al-Quran, ada juga mengambil iqro dan kemudian mereka melingkar, mengaji satu persatu tanpa didampingi oleh guru atau pendamping… yang kufikir saat itu, bagaimana jika anak-anak itu dalam mengajinya ada yang salah, dan nggak ada yang mengoreksinya, kasian sekali. Akhirya kuurungkan niat untuk bertadarus bersama jama’ah Masjid, dan kulangkahkan kaki menuju kumpulan anak-anak itu.. kusapa mereka, “Pada ngaji ya? Waah Subhanallah… pinter-pinter,,, bagaimana kalau kita belajar mengaji bersama?” tak lupa kuperkenalkan juga namaku, “nama saya lina, kalian bias panggil saya teteh”. Tak panjang lebar saya memperkenalkan diri kemudian kuajak mereka mengaji bergantian dan ketika yang satu sedang mengaji ayat-ayat Allah, yang lain harus menyimak dan memperhatikan, dan harus dikoreksi oleh yang mendengarkan jika ada yang salah. Itulah pertemuan pertamaku dengan anak-anak yang sampai sekarang InsyaAllah sedang belajar mengaji Al-Quran dan ilmu-ilmu Islam lainnya.
Walhasil sekarang aku sudah off di tadarusan berjama’ah itu. Tapi on di tadarusan berjam’ah bersama anak-anak(tapi nggak hanya tadarus aja) dan tempatnya masih di Masjid yang sama, hanya berjarak beberapa meter dengan ibu-ibu/bapak-bapak yang sedang tadarusan, jadi sesekali kami harus beradu suara.

Rabu, 15 April 2009

Hukum Menyembuyikan Ilmu Agama


Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 159-160 disebutkan yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilakna(pula) oleh semua makhluk yang bisa melaknat. Kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran, maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya, dan Akulah yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang”.
Adapun sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan ahli kitab, tatkala mereka ditanya tentang apa yang ada dalam kitab mereka tentang kenabian Muhammad SAW, yang ternyata mereka menyembunyikannya dan tidak mau memberitakannya karena rasa dengki dan marah.

Imam As-Sayuthi dalam kitabnya Ad-Durrul Manstur dari Ibnu Abbas R.a bahwa Mu’adz Bin Jabal dan sebagian sahabat menanyakan kepada segolongan Pendeta Yahudi tentang sebagian isi taurat, kemudian mereka menyembunyikannya dan menolak untuk memberitakannya, kemudian turunlah ayat ini.
Apa kandungan hukum dalam ayat ini? Apakah ayat ini khusus berkenaan dengan para pendeta Yahudi dan Nasrani saja?
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan ihwal ahli kitab dari pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani yang enggan memberitakan dan menyembunyikan sifat-sifat Nabi SAW sebagaimana yang disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini, tetapi lebih luas ayat ini mengena kepada setiap orang yang menyembunyikan ayat-ayat Allah dan menyembunyikan hukum-hukum Agama, karena yang dipakai sebagaimana dikatakan oleh Ulama ‘Ushul adalah keumuman lafalnya, bukan kekhususan sebabnya. Sedangkan ayat-ayat in bersifat umum, menggunakan sighat isim maushul (Al-ladzina yaktumuna=mereka yang menyembunyikan). Oleh karena itu menunjukan arti umum.
Hal tersebut diperkuat juga dengan Hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Hakim “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, maka ia pada hari kiamat nanti akan dikendalikan dengan kendali api neraka

Dan juga para sahabat memahami ayat ini untuk arti umum, dan mereka orang-orang arab yang fasih yang menjadi pedoman umat dalam memahami Al-Quran, seperti yang dikatakan Abu Hurairah, r.a : “kalau seandainya tidak ada sebuah ayat dalam kitab Allah, tentu aku tidak akan menyampaikan kepada kalian satu hadist pun, kemudian ia membaca firman Allah “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk….dst.”

Yang menjdai pertanyaan selanjutnya bolehkah mengambil upah dari mengajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama?

Dalam Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam As-Shabuni diterangkan sebagai berikut. Bahwa dengan berlandaskan ayat “Sesungguhnya orang-orang yang menyembuyikan apa telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk… dst.” itu, ulama berpendapat, bahwa mengambil upah dari mengajarkan Al-Quran dan ilmu agama lainnya, karena ayat ini menyuruh kaum muslimin untuk menyi'arkan ayat-ayat Allah dan ilmu agama dan dilarang menyembunyikannya. Dan seseorang tidak berhak mendapat upah atas pekerjaan yang menjadi kewajibannya, sebagaimana tidak berhaknya atas upah bagi seseorang yang mengerjakan Sholat, karena Sholat merupakan suatu amalan pendekatan diri kepada Allah dan sekaligus ibadah, oleh karena itu haram mengambil upah mengerjakan Sholat.

Akan tetapi, ulama Mutaakhirin setelah melihat kelengahan manusia dan hilangnya perhatian mereka terhadap pendidikan agama dan kecenderungannya terhadap urusan duniawi lebih besar, yang berakibat juga tidak ada perhatian untuk mempelajari kitabullah - Al-Quranul karim dan ilmu-ilmu agama maka praktis tiadalah pemelihara-pemelihara Al-Quran dan berbagai ilmu. Karena factor-faktor inilah para ulama Mutaakhirin memperkenankan mengambil upah (pengajar AL-Quran dan pengajar ilmu-ilmu agama lainnya), bahkan sebagaian mereka wajib memberikan upah kepada para pemelihara ilmu Agama. Tidaklah wakaf-wakaf diberikan hanyalah untuk maksud-maksud memelihara Al-Quran dan ilmu-ilmu agama, yang merupakakan sarana bagi terpeliharanya Al-Quran, sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S Al-Hijr ayat 9 : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami pula yang memeliharanya”.

Hanya saja, As-Shabuni mendapatkan bahwa para ulama Muttaqadimin dari kalangan fuqaha, bahwa mereka sepakat atas haramnya upah yang diambil dari mengajar ilmu-ilmu agama karena mengajar itu ibadah sedang mengambil upah dari ibadah itu tidak boleh.

Pandangan As-Shabuni sendiri dalam menilai masalah ini, bahwa pandangan secara fiqih yang halus ini mengangkat derajat ilmu ke derajat ibadah, maka pandangan semacam ini patut diperhatikan. Namun ilmu-ilmu Syari’at hampir tidak diperhatikan lagi kendatipun fatwa ulama Mutaakhirin membolehkan mengambil upah dari mengajar Ilmu-ilmu Agama. Apalagi kalau kita mengambil pandangan para Ulama Mutaqaddimin yang melarang mengambill upah dari mengajar Ilmu Agama? Dengan begitu mungkin tidak aka nada orang yang mengajarkan dan belajar ilmu Agama dsb. Innalilahi Wa Innailaihi Raji’un. Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kemabali.

JIka kita tarik kesimpulannya dari ayat di atas adalah sebagai berikut:
1. Bahwa kaum Yahudi dan Nasrani menyembuyikan sifat-sifat Nabi SAW (dalam taurat dan Injil) untuk menghalang-halangi manusia beriman kepadanya.
2. Bahwa menyembunyikan ilmu itu mengkhianati amanah yang dibebankan kepada para ulama(yang mempunyai ilmu)
3. Bahwa menyiarkan ilmu dan menyampaikannya kepada umat manusia agar petunjuk Illahi merata adalah Wajib.
4. Bahwa barang siapa menyembunyikan ilmu tentang hukum-hukum agama akan dilaknat Allah dan semua makhluk yang bisa melaknat.
5. Bahwa taubat yang diterima tidaklah cukup dengan memohon ampunan saja, tapi harus disertai dengan perbaikan perbuatan dan ikhlas dalam beramal.

Hikmatu tasyri
Syari’at –Syari’at samawi telah datang untuk memberi petunjuk kepada umat manusia dan mengeluarannya dari kegelapan menuju cahaya. Sedang Islam meyuruh kita untuk mengajar orang-orang yang tidak mengerti, menunjukkan kepada mereka yang berada dalam kesesatan dan mengajaknya kepada (Agama) Allah, sehingga kelak di hari Kiamat tidak ada seseorang yang mengelak karena belum menerima dakwah.

Dan apa-apa yang diturunkan Allah SAW yang berisi petunjuk dan penerangan yang tidak lain semua itu hanya untuk kebaikan manusia dan memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Sedangkan menyembunyikan ilmu dan tidak menyampaikannya kepada umat manusia, itu berarti telah menghalangi misi risalah, dimana Allah SWT mengutus nabi dan rosulnya semata-mata untuk maksud tersebut, dan juga berkhianat terhadap amanat yang telah dipikulkan di atas pundak para ulama, Allah SWT berfirman yang artinya “Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) ‘hendaklah kamu menerangkannya (isi kitab itu) kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya’...” (Q.S Ali-Imron:187), maka Allah sangat ingkat terhadap orang yang menyembunyikan sesuatu yang dihajatkan untuk orang banyak, terutama urusan agama, serta memberikan ancaman siksa yang pedih bagi siapa saja yang menyembunyikan ayat-ayat Allah dan ilmu-ilmu agama, karena perbuatan tersebut merupakan dosa besar yang berhak mendapat laknat dari Allah SWT dan semua makhluk yang bisa melaknat dan dijauhkan dari rahmat Allah.
Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa Islam adalah agama yang sempurna yang memberikan dorongan yang sangat besar untuk tersebarnya ilmu yaitu dengan menyampaikan dakwah kepada umat manusa, dan memerangi kebodohan dan kesesatan, dan Islam menilai menyiarkan ilmu termasuk ibadah, dan menyembuyikannya adalah berdosa. Rosulullah SAW telah bersabda “Sampaikanlah walapun hanya satu ayat” dan ia pun bersabda lagi “barang siapa ditanya mengenai suatu ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, maka dia akan diberi kendali pada hari kiamat nanti dengan kendali api neraka”.

Wallahu’alam bi showab

Sumber : Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni (1)

Minggu, 05 April 2009

AGAR HARTA TIDAK MENJADI FITNAH



Tidak bisa dipungkiri, harta sesuatu yang penting (kalau tidak bisa dibilang sangat penting) apalagi untuk sebuah keluarga, karena memang kehidupan keluarga tidak bisa ditunjang tanpa adanya harta.
Bahkan dalam Al-quran sendiri sudah mengisyaratkan tentang hal itu dalam surat Ali-Imron : 14 yang artinya “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-permpuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik”
Jadi sesungguhnya Allah menjadikan indah pada segala hal, yg memang itu layak dijadikan kita suka. Dari lawan jenis, anak, dan termasuk harta. Nah kadang masalah harta ini,kita melihatnya tidak proposional. Kalau boleh dibilang… ada ”ekstrim kiri” ada pula yang “ekstrim kanan”. Padahal kan sesungguhnya agama kita ini wasatiya, dia berada di tengah-tengah. Ada orang yang benar-benar menolak harta dengan asumsi : udahlah kita kan diperintahkan untuk zuhud, diperintahkan untuk menjauhi. Karena memang banyak sekali ayatnya yang mengatakan bahwa kehidupakan dunia itu kan Matta (Cuma perhiasan), dan matta itu sebentar, setelah itu, sudah, berakhir, dan akhirat itu tempat kita yang kekal.
Tapi ada juga yang sebaliknya, pola hidup yang hedonisme, matreliasme, pola hidup yang luar biasa, dimana tuntutannya itu membuat orang segala cara dihalalkan untuk mendapatkan harta, sampai ada yang mengatakan “janganlah untuk mencari yang halal, yang haram aja susah” . Sehingga yang namanya suap, korupsi dan sejenisnya akhirnya itu muncul awalnya dari rumah.
Kita kan salah satu umat yang sesungguhnya ingin berada di tengah, jadi ingin mengharapkan sesuatu yang itupun dihalalkan oleh Allah atau justru sebaliknya tidak ada hal-hal yang haram. Sebagaimana dulu para isteri dari kaum Salafusholih ketika suaminya mau berangkat, berangkatlah untuk bekerja, berangkatlah untuk berjihad, dan carilah harta yang halal, karena ketika engkau pulang dengan membawa harta yang tidak halal kami tidak akan tahan menahan siksanya nanti di akhirat, sementara ketika kami harus kelaparan sehari dua hari di dunia, InsyaAllah kami kuat.
Jadi tolonglah proposional. Karena sesungguhnya tidak ada pertentangan antara si kaya dan si miskin. Jadi kalo misalnya ada cerita yang kaya benci sama si miskin, atau sebaliknya si miskin nggak mau bergaul dengan si kaya karena ngga mau dihina atau diejek. Sesungguhnya dalam Islam tidak ada klasifikasi seperti itu, justru keberadaan kita itu untuk saling tolong menolong.
Dan banyak sekali hadist yang mengatakan bahwa yang namanya harta itu nikmal ‘aunu ‘ala taqwallahil ghina yang artinya harta kekayaan adalah sebaik-baik penolong bagi pemeliharaan ketaqwaan kepada Allah. Jadi justru dengan harta kita bisa semakin dekat dengan Allah. Dan banyak sekali perintah syari’at yang sesungguhnya mengisyaratkan kita supaya kita itu kaya. Kalau kita ambil contoh dari RUkun Islam. Yang pertama, Syahadat, itu tidak butuh harta dunia. Kedua, Sholat, itu juga sesungguhnya tidak butuh harta kecuali memang kita membutuhkan penutup aurat. Dan itu pun tidak harus baru setiap kali ‘Idul Fitri, ganti mukena. Ketiga, Puasa, ini juga sebenarnya tidak butuh biaya, tapi kadang-kadang kita suka salah kaprah, justru pada saat bulan Ramadhan pengeluarannya jadi membengkak, padahal semestinya nggak boleh begitu, membengkak untuk infaq dan zakat bolehlah. Yang keempat, zakat, infaq, ini sudah mulai kita harus sudah punya harta. Dan yang kelima, naik haji. orang harus kaya kalau dia pingin menunaikan ibadah haji.
Ini berarti memang ada isyarat-isyarat Syari’ah yang menuntut kita untuk menjadi kaya. Jadi proprosinal lah kita. Jangan sampai harta yang ada di tangan kita menguasai hati kita, sebagaimana pesan Abu Bakar R.a sebaik-baik harta itu yang ada di tangan, bukan di hati, kalau harta ada di hati kita, berarti kita telah diperbudak oleh harta, tetapi halau harta kita simpan di tangan, kita bisa mengendalikan, mana saat-saat harta itu dikeluarkan mana yang tidak. Sehingga tidak ada rasa sedikitpun Su’udzon kepada Allah ketika Allah SWT menguji kita dengan kekurangan harta, dan tidak ada rasa “gumede” atau Gede Rasa ketika Allah menguji kita dengan kelebihan harta. Karena sesungguhnya “sebaik-baik harta ada di tangan orang sholih” seperti wasiatnya nabi Muhammad saw.
Kenapa sebaik-baik harta itu ada di tangan orang Sholih? Karena pasti belanjanya itu ke arah kebaikan, kita bisa tebak daftar belanjaanya, misalnya untuk infaq, untuk pergi haji, untuk menaikhajikan orang tua, untuk membantu fakir miskin. Tapi coba jika harta itu berada ditangan bukan orang Shalih, larinya bisa kemana-kemana, bisa Hedonis, untuk berjudi, untuk maksiyat, beli perempuan, hura-hura, dan lain sebagainya.
Sehingga jika kita cermati, harta itu sesungguhnya adalah senjata kita. Dia bisa kita pergunakan untuk jalan kebaikan, sehingga proses untuk memperolehnya itu tolong sehalal-halalnya, sehati-hati mungkin, dan proses membelanjakannya pun hati-hati juga. Karena besok ketika di akhirat, setiap orang ditanya masing-masing satu, misalnya, orang pinter ilmunya untuk apa digunakan, tapi kalau berkenaan dengan harta, itu ada dua yang ditanyakan Allah, dari mana anda dapat? Dan setelah dapat, dikemanakan? Sementara yang lain-lain tidak. Jadi jangan sampai harta itu menjadi fitnah. Karena kadang-kadang ada keluarga yang diuji Allah dengan harta yang sedikit, mereka fight, mereka kuat, mereka kompak, mereka solid, suami isteri Subhanallah luar biasa mereka dapat mendidik anak dengan harta yang kurang. Tapi ketika Allah memberi mereka kemudahan harta yang luarbiasa melimpah banyaknya, lupa, lupa dengan asumsi sudah banyak hal semestinya nggak penting jadi penting. Sehingga yang terjadi kemudian ada selingkuh, ada banyak barang maksiyat di rumah yang itu sebenarnya merusak agama. Mulai dari Vcd porno, anak-anak melihat TV tidak terkontrol lagi karena masing-masing di kamarnya ada TV. Nah, Kadang-kadang memang ujian Allah itu tidak bisa kita prediksi di awalnya. Wallahu’alam bi showab.
Sumber :
Ibu Asri Widiati
Di Kajian RUmahku Surgaku __Pasca Nikah, Radio MQ 92,3 FM Yogya
Edited By : Nisa-Muthmainnah

BAITTI JANNATI


Bahwa sesungguhnya rumah tempat berdiam kita adalah syurga kita. Bagaimana memfungsikan rmh kita sbg syurga. Karena rumah itu harusnya sebaik-sebaik tempat kita kembali mestinya. Mungkin jika kita mudik lebaran, kita bisa membandingkan (bukan dalam rangkan mencari kejelekan), nyaman mana ketika berada di rumah masa kecil saya dengan di rumah bersama pasangan? Misalnya sama-sama nyaman, tapi plong mana…? Misalnya, kok saya masih plong berada di rumah masa kecil saya dulu, ketika bersama orang tua, ketika dikumpulkan bersama adik kakak, tapi ketika saya kembali ke rumah sekarang, ke rumah bersama pasangan kok saya tidak merasakan kenyamanan yang sama. Jika demikian berarti ada yang salah, padahal kalau dalam hadist Rosulullah itu ”Baitii Jannati” (RUmahku Syurgaku), di sini, di rumah kita mencari syurga, artinya kita bebas untuk melakukan aktivitas apapun, kita bebas mengekspresikan diri, misalnya mau membuka aurat, mau tilawah, mau mendidik anak dengan cara Islamipun tanpa ada intervensi siapapun.

Karena itu rumah kita, itu syurga kita, hanya saja sayangnya kadang kita tidak bisa memfungsikan itu secara maksimal. Sehingga orang lebih sering mencari syurga di lain tempat, di luar rumah, misalnya di kantor, di sekolahan, atau di tempat lainnya. Jadi syurga itu kita cari di tempat-tempat yang mestinya kita jadikan tempat itu sebagai syurga, dimana kita bisa mewujudkan nilai-nilai Islami mulai dari dalam rumah. Hal ini juga bukan dalam rangka mensekiankan pekerjaan di kantor, atau mensekiankan rumah orang tua, Tidak! Semuanya sama-sama penting. Masing-masing bilik itu fungsinya maksimal, tapi jauh lebih penting kenapa sih Rosulullah sampai mengatakan Baitti Jannati, ada apa sesungguhnya di rumah eksklusif yang itu memang benar-benar milik kita. Tempat dimana kita bisa aplikasi. Bagaimana sih Rosulullah menginginkan kita itu benar-benar eksis sebagai hamba, dan sebagai anggota masyarakat, sebagai anggota keluarga, semuanya itu dilakukan dengan benar-benar nyaman. Sehingga jika refleksi Baiti Jannati itu belum kita dapatkan, saatnya kita mengevaluasi, yang mana yang salah, secara psikis, fisik, secara mental imani atau yang mana? Kok rumah ku belum bisa jadi Baiti Jannati??
Sepertri apa dan bagamana supaya kita bisa mempunyai rumah Baiti Jannati?
Pertama, yaitu kembali kepada masalah visi misi, masalah keimanan dan pemahaman.
Tujuannya untuk apa kita berumah tangga. Kalau misalnya sudah sehati, ibaratnya tuh pulau itu yang kita tuju, maka caranya seperti apa kita sampai kesana sehingga fungsi rumah itu benar-benar kita rasakan. Misalnya ketika benar-benar capek/panas di luar, benar-benar merasa lelah fisik, psikis begitu masuk rumah kita merasakan ada kedamaian disana, ketemu suami/isteri misalnya SUbhanallah begitu sejuk, bukan malah seperti melihat trouble maker. Jadi secara fisik harus disiapkan rumah itu untuk siap sebagai Baiti Jannati, artinya hal-hal apa saja yang perlu kita lakukan untuk mendukung suasana agar sesuai dengan harapan kita, misalnya bersihkah rumah kita, rapihkah atau letak-letak barang itu sesuai nggak sebagaimana kebutuhannya. Bukan berarti harus yang mewah, bukan berarti harus yang serba ada, serba baru. Tapi jauh lebih penting, fungsional nggak secara fisik rumah kita itu untuk sebagai rumah. Kadang-kadangkan tidak menjadi fungsional karena misalnya terlalu terbuka sehingga pihak isteri merasa tidak nyaman untuk melepaskan kerudungnya sehingga harus tertutup terus. Atau yang kecil-kecil tidak kita perhatikan, atau kebersihan yang kurang diperhatikan sehingga rumah menjadi sarang tikus, oh ternyata tikus itu nyaman di rumah kita, nah bagaimana supaya tikus itu tidak nyaman di rumah.
Atau secara fsikis, ada ngga kenyamanan yang sengaja kita ciptakan sehingga orang benar-benar nyaman disitu. Misal pada saat di rumah yang muncul malah banyak masalah, yang muncul selalu ketidaknyamanan, atau misalnya sudah saatnya kita punya pembantu, karena banyak pekerjaan yang tidak bisa kita lakukan sendiri, ternyata muncul masalah baru, pembantunya beginilah begitulah, atau suami menjadi beginilah, begitulah, ini kan sebetulnya masalah yang kita buat sendiri.
Jadi untuk menjadikan rumah itu Baiti Jannati, secara fisik rumah itu harus siap menjadi rumah islami, secara psikis penghuninya harus merasa nyaman berada di rumah itu. Jadi bukan rumah yang fungsinya itu serba sedikit, sedikit sebagai rumah baca, sedikit sebagai rumah masak, sedikit sebagai rumah makan, sedikit sebagai rumah apalah. Sehingga fugnsi bahwa rumah ini adalah benar-benar ini adalah rumah, ini adalah home dimana saya merasa nyaman berada disini, benar-benar ketika berada di rumah saya merasakan semangat baru. Itu memang harus senantiasa diwujudkan, tidak semata-mata ah nantijuga akan berjalan dengan sendirinya, nanti juga terbentuk sendiri, jadi memang harus direkayasa. Jadi ketika dia atau orang rumah stress dia pulang ke rumah, bukannya ke mall, atau tempat lainnya.

Sumber :
Ibu Asri Widiati
Di Kajian RUmahku Surgaku __Pasca Nikah, Radio MQ 92,3 FM Yogya
Edited By : Nisa-Muthmainnah