Minggu, 05 April 2009

AGAR HARTA TIDAK MENJADI FITNAH



Tidak bisa dipungkiri, harta sesuatu yang penting (kalau tidak bisa dibilang sangat penting) apalagi untuk sebuah keluarga, karena memang kehidupan keluarga tidak bisa ditunjang tanpa adanya harta.
Bahkan dalam Al-quran sendiri sudah mengisyaratkan tentang hal itu dalam surat Ali-Imron : 14 yang artinya “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-permpuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik”
Jadi sesungguhnya Allah menjadikan indah pada segala hal, yg memang itu layak dijadikan kita suka. Dari lawan jenis, anak, dan termasuk harta. Nah kadang masalah harta ini,kita melihatnya tidak proposional. Kalau boleh dibilang… ada ”ekstrim kiri” ada pula yang “ekstrim kanan”. Padahal kan sesungguhnya agama kita ini wasatiya, dia berada di tengah-tengah. Ada orang yang benar-benar menolak harta dengan asumsi : udahlah kita kan diperintahkan untuk zuhud, diperintahkan untuk menjauhi. Karena memang banyak sekali ayatnya yang mengatakan bahwa kehidupakan dunia itu kan Matta (Cuma perhiasan), dan matta itu sebentar, setelah itu, sudah, berakhir, dan akhirat itu tempat kita yang kekal.
Tapi ada juga yang sebaliknya, pola hidup yang hedonisme, matreliasme, pola hidup yang luar biasa, dimana tuntutannya itu membuat orang segala cara dihalalkan untuk mendapatkan harta, sampai ada yang mengatakan “janganlah untuk mencari yang halal, yang haram aja susah” . Sehingga yang namanya suap, korupsi dan sejenisnya akhirnya itu muncul awalnya dari rumah.
Kita kan salah satu umat yang sesungguhnya ingin berada di tengah, jadi ingin mengharapkan sesuatu yang itupun dihalalkan oleh Allah atau justru sebaliknya tidak ada hal-hal yang haram. Sebagaimana dulu para isteri dari kaum Salafusholih ketika suaminya mau berangkat, berangkatlah untuk bekerja, berangkatlah untuk berjihad, dan carilah harta yang halal, karena ketika engkau pulang dengan membawa harta yang tidak halal kami tidak akan tahan menahan siksanya nanti di akhirat, sementara ketika kami harus kelaparan sehari dua hari di dunia, InsyaAllah kami kuat.
Jadi tolonglah proposional. Karena sesungguhnya tidak ada pertentangan antara si kaya dan si miskin. Jadi kalo misalnya ada cerita yang kaya benci sama si miskin, atau sebaliknya si miskin nggak mau bergaul dengan si kaya karena ngga mau dihina atau diejek. Sesungguhnya dalam Islam tidak ada klasifikasi seperti itu, justru keberadaan kita itu untuk saling tolong menolong.
Dan banyak sekali hadist yang mengatakan bahwa yang namanya harta itu nikmal ‘aunu ‘ala taqwallahil ghina yang artinya harta kekayaan adalah sebaik-baik penolong bagi pemeliharaan ketaqwaan kepada Allah. Jadi justru dengan harta kita bisa semakin dekat dengan Allah. Dan banyak sekali perintah syari’at yang sesungguhnya mengisyaratkan kita supaya kita itu kaya. Kalau kita ambil contoh dari RUkun Islam. Yang pertama, Syahadat, itu tidak butuh harta dunia. Kedua, Sholat, itu juga sesungguhnya tidak butuh harta kecuali memang kita membutuhkan penutup aurat. Dan itu pun tidak harus baru setiap kali ‘Idul Fitri, ganti mukena. Ketiga, Puasa, ini juga sebenarnya tidak butuh biaya, tapi kadang-kadang kita suka salah kaprah, justru pada saat bulan Ramadhan pengeluarannya jadi membengkak, padahal semestinya nggak boleh begitu, membengkak untuk infaq dan zakat bolehlah. Yang keempat, zakat, infaq, ini sudah mulai kita harus sudah punya harta. Dan yang kelima, naik haji. orang harus kaya kalau dia pingin menunaikan ibadah haji.
Ini berarti memang ada isyarat-isyarat Syari’ah yang menuntut kita untuk menjadi kaya. Jadi proprosinal lah kita. Jangan sampai harta yang ada di tangan kita menguasai hati kita, sebagaimana pesan Abu Bakar R.a sebaik-baik harta itu yang ada di tangan, bukan di hati, kalau harta ada di hati kita, berarti kita telah diperbudak oleh harta, tetapi halau harta kita simpan di tangan, kita bisa mengendalikan, mana saat-saat harta itu dikeluarkan mana yang tidak. Sehingga tidak ada rasa sedikitpun Su’udzon kepada Allah ketika Allah SWT menguji kita dengan kekurangan harta, dan tidak ada rasa “gumede” atau Gede Rasa ketika Allah menguji kita dengan kelebihan harta. Karena sesungguhnya “sebaik-baik harta ada di tangan orang sholih” seperti wasiatnya nabi Muhammad saw.
Kenapa sebaik-baik harta itu ada di tangan orang Sholih? Karena pasti belanjanya itu ke arah kebaikan, kita bisa tebak daftar belanjaanya, misalnya untuk infaq, untuk pergi haji, untuk menaikhajikan orang tua, untuk membantu fakir miskin. Tapi coba jika harta itu berada ditangan bukan orang Shalih, larinya bisa kemana-kemana, bisa Hedonis, untuk berjudi, untuk maksiyat, beli perempuan, hura-hura, dan lain sebagainya.
Sehingga jika kita cermati, harta itu sesungguhnya adalah senjata kita. Dia bisa kita pergunakan untuk jalan kebaikan, sehingga proses untuk memperolehnya itu tolong sehalal-halalnya, sehati-hati mungkin, dan proses membelanjakannya pun hati-hati juga. Karena besok ketika di akhirat, setiap orang ditanya masing-masing satu, misalnya, orang pinter ilmunya untuk apa digunakan, tapi kalau berkenaan dengan harta, itu ada dua yang ditanyakan Allah, dari mana anda dapat? Dan setelah dapat, dikemanakan? Sementara yang lain-lain tidak. Jadi jangan sampai harta itu menjadi fitnah. Karena kadang-kadang ada keluarga yang diuji Allah dengan harta yang sedikit, mereka fight, mereka kuat, mereka kompak, mereka solid, suami isteri Subhanallah luar biasa mereka dapat mendidik anak dengan harta yang kurang. Tapi ketika Allah memberi mereka kemudahan harta yang luarbiasa melimpah banyaknya, lupa, lupa dengan asumsi sudah banyak hal semestinya nggak penting jadi penting. Sehingga yang terjadi kemudian ada selingkuh, ada banyak barang maksiyat di rumah yang itu sebenarnya merusak agama. Mulai dari Vcd porno, anak-anak melihat TV tidak terkontrol lagi karena masing-masing di kamarnya ada TV. Nah, Kadang-kadang memang ujian Allah itu tidak bisa kita prediksi di awalnya. Wallahu’alam bi showab.
Sumber :
Ibu Asri Widiati
Di Kajian RUmahku Surgaku __Pasca Nikah, Radio MQ 92,3 FM Yogya
Edited By : Nisa-Muthmainnah

1 komentar: